Sumber Daya Perikanan, Kekayaan Kita yang (masih) Merana

Posted in Perikanan dan Kelautan on September 29, 2006 by Aryanto Abidin

Sumber Daya Perikanan, Kekayaan
Kita yang (masih) Merana

Dunia telah mengakui, bahwa indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dimana terdiri dari 17.508 pulau, dengan garis pantai sekitar 81.000 km. Indonesia memiliki luas wilayah lautan sekitar 5,8 juta km2 atau sekitar 70% dari luas total teritorial Indonesia. Dengan potensi fisik ini, tentunya kita harus berbangga atas potensi ini, serta mampu mengelolanya dengan baik. Sayangnya, dengan potensi yang cukup besar ini, kita (bangsa indonesia) belum mampu menunjukan kerdiriannya sebagai bangsa bahari. Indikasinya sangat jelas, sampai hari ini masyarakat kita yang berprofesi sebagai nelayan masih hidup di bawah garis kemiskinan. Harusnya dengan potensi kekayaan bahari tersebut, sudah mampu membuat bangsa ini sejahtera. Ini merupakan bukti kegagalan pemerintah kita dalam penegelolaan sektor kelautan dan perikanan. Sekaligus mengindikasikan perhatian pemerintah terhadap sektor ini masih dipandang sebelah mata.

Apa pasal yang membuat bangsa ini belum mapan dalam sektor bahari? Indikasi kecilnya adalah belum adanya kesadaran kolektif bangsa ini akan arti pentingnya sektor kelautan kita. Dari segi pengambil kebijakan misalnya, departemen yang secara khusus menangani masalah kebaharian yakni kementerian Kelautan dan Perikanan kita baru ada pasca tumbangnya orde baru. Itu baru pada persoalan penentu kebijakan. Tentunya potensi fisik tersebut bukanlah hanya menjadi kebanggaan saja. Akan tetapi potensi itu harus dikelola untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat. Sayangnya, sampai sekarang potensi sumberdaya perikanan kita masih belum dikelola secara efektif. Layaknya raksasa yang masih tidur, demikianlah potensi sumber daya perikanan kita. Dalam terminologi saya, potensi tersebut hanya akan menjadi (potensi) kekayaan yang merana jika tidak dikelola dengan baik.

Kekayaan yang merana

Laut kita memiliki karakteristik yang sangat spesifik Dikatakan spesifik, karena memiliki keaneragaman biota laut (ikan dan vegetasi laut) dan potensi lainnya seperti kandungan bahan mineral. Dalam definisi undang-undang no 31 tahun 2004 tentang perikanan, dikatakan bahwa ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebahagian hidupnya berada dalam lingkungan perairan. Sumber daya perikanan, merupakan hasil kekayaan laut yang memiliki potensi besar untuk menambah devisa negara. Menurut Rohmin Dahuri, bahwa potensi pembangunan pesisir dan lautan kita terbagi dalam tiga kelompok yaitu: (1) sumber daya dapat pulih (renewable recorces), (2) sumber daya tak dapat pulih (non-renewable recorces) dalam hal ini mineral dan bahan tambang, (3) jasa-jasa lingkungan (Environmental service). Sayangnya ketiga potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal. Oleh karena itu, akan menarik kiranya bila kita membeberkan ketiga kelompok potensi kelautan kita.

Sumberdaya dapat pulih terdiri dari ikan dan vegetasi lainnya. Namun yang menjadi primadona kita selama ini adalah pada sebatas ikan konsumsi seperti ikan pelagis, ikan demersal, ikan karang, udang dan cumi-cumi. Sedangkan untuk vegetasinya adalah terumbu karang, padang lamun, rumput laut, dan hutan mangrove. Sumber daya perikanan laut sebagai sumber daya yang dapat pulih sering kita salah tafsirkan sebagai sumber daya yang dapat eksploitasi secara terus menerus tanpa batas. Dalam data Ditjen Perikanan, (1995), Potensi sumber daya perikanan laut di indonesia terdiri dari sumber daya perikanan pelagis besar dengan potensi produksi sebesar 451.830 ton/tahun dan pelagis kecil sebesar 2.423.000 ton/tahun sedangkan sumberdaya perikanan demersal memiliki potensi produksi sebesar 3.163.630 ton/tahun, udang sebesar 100.728 ton/tahun, ikan karangdengan potensi produksi sebesar 80.082 ton/tahun dan cumi-cumi sebesar 328.968 ton/tahun. Dengan demikian potensi lestari sumber daya perikanan laut dengan tingkat pemanfaatan baru sekitar 48%.

Sementara itu, potensi vegetasi biota laut juga sangat besar. Salah satunya adalah terumbu karang. Dimana terumbu karang ini memilki fungsi yang sangat startegis bagi kelangsungan hidup ekosistem laut yakni fungsi ekologis yaitu sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, pelindung fisik, tempat pemijahan, tempat bermain dan asuhan berbagai biota. Terumbu karang juga menghasilkan produk yang memiliki nilai ekonomis penting seperti berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang dan kerang mutiara Data Ditjen Perikanan tahun 1991 menunjukan, potensi lestari sumber daya ikan pada terumbu karang di perairan indonesia diperkirakan sebesar 80.802 ton/km2/tahun, dengan luas total terumbu karang 50.000 km2. Vegetasi lainnya adalah rumput laut. Rumput laut memiliki potensi lahan untuk budidaya sekitar 26.700 ha dengan kemampuan potensi produksi sebesar 482.400 ton/tahun (Ditjen Perikanan, 1991).

Disamping potensi sumber daya dapat pulih (renewable recources), wilayah pesisir dan laut kita juga memiliki potensi sumber daya tak terbaharukan (non-renewable recources). Potensi ini meliputi mineral dan bahan tambang diantaranya berupa minyak, gas, batu bara, emas, timah, nikel, bauksit dan juga granit, kapur dan pasir. Potensi lain yang tidak kalah pentingnya lagi adalah kawasan pesisir dan laut kita sangat potensial untuk pengelolaan jasa lingkungan (environmental service).yang dimaksud dengan jasa lingkungan adalah pemanfaatan kawasan pesisir dan lautan sebagai sarana rekreasi dan pariwisata, media transportasi dan komunikasi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, kawasan perlindungan dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi ekologis lainnya.

Potensi lain yang juga belum tergarap adalah pemanfaatan wilayah pesisir dan laut sebagai penghasil daya energi, belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal wilayah pesisir dan lautan merupakan salah satu sumber energi alternatif yang sangat ramah lingkungan. Sumber energi yang dapat dimanfaatkan antara lain berupa; arus pasang surut,, gelombang, perbedaan salinitas, angin, dan pemanfaatan perbedaan suhu air laut di lapisan permukaan dan lapisan dalam perairan atau yang kita kenal dengan OTEC (Ocean Thermal Energy Convertion).

Gambaran potensi wilayah laut dan pesisir kita tersebut hanyalah sebahagian kecil yang dimanfaat secara optimal. Tentunya masih banyak potensi lain yang dapat dikembangkan guna kemakmuran rakyat. Namun sangat disayangkan potensi sumber daya pesisir dan lautan belum bisa mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat khususnya nelayan. Hal yang terjadi justru sebaliknya, ditengah kebanggaan kita sebagai bangsa bahari, justru nelayan kitalah yang paling termarjinalkan. Suatu fenomena yang kontras. Rohmin Dahuri pernah mengatakan, seandainya saja potensi wilayah pesisir dan laut dikelola secara baik maka hasilnya akan mampu membayar utang luar negeri kita yang sampai hari ini belum bisa terbayarkan. Namun apa boleh buat, model pengelolaan wilayah pesisir dan laut selama ini sangat berorientasi pada aspek eksploitasi. Hal ini terlihat jelas selama pemerintahan orde baru. Kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan laut hanya sebatas untuk pemenuhan pundi uang bagi negara. Sementara pengelolaan secara terpadu dan berkelanjutan belum sepenuhnya dilakukan. Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan bisa jadi suatu saat nanti akan menjadi penyedia primer bahan pangan. Tidak berlebihan kiranya, mengingat jumlah penduduk yang meningkat tiap tahunnya serta semakin kurangnya lahan pertanian akibat adanya aktivitas pembangunan perumahan dan jalan. Dengan demikian mau tidak mau, suka tidak suka potensi sumberdaya wilayah pesisir dan lautan akan menjadi kiblat ekonomi indonesia masa depan. Jika potensi kekayaan ini dibiarkan merana tidak dikelola dengan baik, maka indonesia sebagai negara bahari bisa jadi hanya tinggal nama.

Fenomena ilegal fishing dan ironi negara bahari

Sudah bukan rahasia umum lagi, kalau fenomena pencurian ikan (ilegal fishing) di perairan Indonesia menjadi sangat marak. Kegiatan penangkapan ikan secara ilegal oleh kapal berbendera asing di perairan indonesia, bukan terjadi beberapa tahun terakhir ini saja. Akan tetapi kegiatan ini sudah berlangsung sejak puluhan tahun. Kapal berbendera asing tersebut menyamar sebagai kapal nelayan indonesia, ada juga yang menggunakan surat ijin penangkapan palsu. Harus kita akui juga, bahwa kebijakan kelautan kita yang masih longgar, sehingga memungkinkan kapal-kapal asing untuk masuk menjarah hasil laut kita. Menurut Sudarmin (Fajar, 10/7) bahwa banyak faktor yang teridentifikasi sebagai penyebab terjadinya illegal fishing di perairan indonesia yaitu: (1) Luasnya potensi laut yang belum terolah, (2) Peluang bisnis ikan yang menggiurkan, (3) Kelemahan penegakan hukum, (4) Mentalitas aparat, dan (5) Hambatan dari faktor perundang-undangan. Ekonom senior Kwik Kian Gie (Kompas, 26/3/2005) mengatakan bahwa kerugian negara akibat pencurian ikan serta penambangan pasir secara ilegal selama ini yakni sebesar Rp 76,5 triliun. Angka kerugian negara di sektor perikanan menempati urutan kedua setelah kerugian dari sektor pajak yang mencapai angka sebesar Rp 215 triliun.

Maraknya pencurian ikan secara ilegal (ilegal fishing) oleh kapal asing merupakan fenomena yang kontras dan menyakitkan hati masyarakat kita. Betapa tidak kekayaan laut kita dengan seenaknya dirampas oleh nelayan asing, sementara nelayan kita tidak bisa menikmati hasil laut sendiri. Data Kompas (27/9) menyebutkan bahwa Thailand merupakan salah satu negara yang memiliki kapal penangkap ikan terbanyak yang beroperasi secara ilegal sebanyak 500 unit. Sedangkan yang legal sebanyak 306 unit. Dari hasil penagkapan itu, Thailand mampu memproduksi hasil tangkapan dengan total penangkapan sebesar 72.540 ton/tahun, meliputi 27.540 ton ditangkap secara legal, sisanya 45.000 ton merupakan hasil tangkapan secara ilegal. Hasil tangkapan tersebut dibawa langsung ke Thailand. Ironisnya lagi selama ini, indonesia sebagai pengambil kebijakan sekaligus sebagai penghasil ikan justru tidak mampu berbuat banyak. Bukan rahasia umum lagi, kalo model kerja sama seperti ini cenderung menguntungkan pihak asing. Hal ini mengingatkan kita pada model kerja sama dengan perusahan pertambangan asing (freeport, INCO dan perusahaan sejenis dengan model pengelolaan Trans National Corporate/TNC) dimana kita hanya mengandalkan atau berharap pada pajak perijinan pengoperasian saja. Demikian juga dengan sektor perikanan kita, hanya berharap pada pajak perijinan pengoperasian kapal sesuai dengan penggunaan alat tangkap saja. Dalam setahun, untuk alat tangkap jenis pukat dikenakan biaya 167 dollar AS/Gross Ton (GT), alat tangkap jenis pursen 254 dollar AS/GT dan alat tangkap gilnet sebesar 54 dollar AS/GT. Jika dilihat dari hasil transaksi perdagangan produk perikanan dunia senilai 70 miliar dollar AS/tahun, indonesia hanya mampu meraup 2,2 miliar dollar AS atau sekitar 2,8 persen. Sebaliknya Thailand mampu meraup 4 miliar dollar AS dan Cina mendapatkan porsi 25 miliar dollar AS (Kompas, 27/9). Oleh karenanya, sungguh sesuatu yang ironis jika sekiranya kita masih mengangap sebagai negara bahari, sementara hasil-hasil perikanan di bawa kabur oleh kapal asing (negara lain).

Nelayan kita yang merana

Seperti kita ketahui, nasib buruh, petani dan nelayan kita sudah dapat dipastikan, mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Kelompok yang paling menikmati adalah mereka yang memiliki modal besar (pengusaha) dan dekat dengan kekuasaan. Kemiskinan nelayan sepertinya menjadi benang kusut yang sulit diurai. Kebijakan pemerintah yang pro nelayan mutlak dilakukan untuk mendorong tingkat kesejahteraan nelayan kita. Beberapa faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan antara lain : (1) rendahnya tingkat teknologi penangkapan ; (2) kecilnya skala usaha ; (3) belum efisiennya sistem pemasaran hasil ikan dan (4) status nelayan yang sebagian besar adalah buruh. Oleh karenanya pembangunan infrastruktur nelayan bantuan alat penagkapan ikan serta membantu dalam pemasaran hasil tangkap adalah mutlak dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan nelayan. Selain itu, harus ada payung hukum yang melindungi aktivitas penangkapan nelayan lokal serta pengaturan atau pembatasan penangkapan bagi kapal asing dan kapal-kapal besar serta harus ada undang-undang yang mengatur batas wilayah kita dengan batas wilayah teritotial negara lain. Hal ini perlu, guna menghindarkan konflik nelayan lokal dan nelayan asing. Kebijakan perikanan yang pro nelayan adalah suatu keharusan, jika tidak maka nelayan kita akan merana akibat ketidak becusan pemerintah dalam mengelola wilayah pesisir dan laut kita. Semoga saja!.


Syndroma of Literer (Fenomenologi komunitas “antik” : WD17)

Posted in Tips menulis on Agustus 24, 2006 by Aryanto Abidin
Seri tafsir ke-kita-an. Karena
kita adalah ke-aku-an yang majemuk

Syndroma of Literer

(Fenomenologi komunitas “antik” : WD17)

Entah sudah berapa buah buku yang sudah saya baca, yang secara khusus membahas tentang menulis. Hingga akhirnya saya jenuh membacanya., dan saya pun berkesimpulan menulis tidak cukup dengan teori. Akan tetapi memulai menulis itu adalah resep yang paling mujarab. Dapat pula kita ajukan pertanyaan, entah sudah berapa buku yang membahas tentang budaya menulis. Atau entah sudah berapa banyak penulis yang menulis tentang menulis. Perkembangan dunia kepenulisan yang begitu “dahsyat” dan dinamis membuat orang berbondong-bondong berkiblat kepada dunia literer. Dunia yang dulunya sangat “tabu” untuk dilakoni, bahkan terkesan “najis” untuk disentuh. Celakanya lagi dunia kepenulisan-dulunya-hadir dalam rupa yang superioritas yakni milik mereka yang bergelut di dunia sastera. Sekarang, dunia kepenulisan begitu akrab dengan keseharian kita, menembus ruang dan waktu serta batas usia. Maka jangan heran bila ada anak-anak usia TK atau SD sudah populer dalam menulis. Buku yang membahas tentang menulis bertebaran di sudut-sudut toko. Bahkan saking banyaknya pecandu literer: litereoholic (baca: pelaku, penikmat dan penyuka dunia kepenulisan) jenis-jenis tulisan pun bermunculan bahkan mebentuk mazhab-mazhab baru dalam dunia kepenulisan.

Hal ini tentu tidak bisa kita lepaskan dari pengaruh peradaban yang berjalan sangat dinamis, linear dengan pola pikir manusia yang dinamis. Setiap gerbong sejarah, tentu melahirkan ciri khas masing-masing. Misalnya saja dalam dunia sastera Indonesia. Kita diperkenalkan dengan beberapa mazhab. Ada yang namanya sastra zaman pujangga lama, zaman pujangga baru dan zaman modern serta abad millennium (coba ingat kembali pelajaran bahasa dan sastra Indonesia waktu kita masih SD – SMA, pasti nyambung deh!).

Dari segi tema pun, juga sangat beragam. Mulai dari tema (picisan) cinta, heroic, Gender, konflik, social, hingga menyerempet ke urusan ranjang dan kelamin. Sebut saja Jakarta Under Cover (Muamar Emka), Jangan Main-Main dengan Kelaminmu (Djenar Mahesa Ayu), Larung (Ayu Utami), Kampus Under Cover (Lupa nama Penulisnya), Sex in the Kost (Iip Wijayanto). Tema-tema seperti ini laris manis di era 2000-an. Dalam konteks kekinian, khususnya di Indonesia, mazhab itu begitu menonjol. Untuk Indonesia, trend menulis sekarang adalah berkiblat pada kehidupan remaja yang gaul, anak sekolahan dll. Model tulisan seperti ini yang kemudian disebut sebaga Teenlets. Tapi, dalam tulisan ini, saya tidak sedang ingin membahas mazhab-mazhab tulisan atau menggurui anda tentang menulis. Sekali lagi: “Tidak”,titik! nggak pake koma. Untuk persolan ini saya tidak cukup kapabel untuk memperbincangannya. Saya tidak ingin “merampas” hak mereka yang lebih mafhum dengan hal ini.

Fenomenologi komunitas antic: syndrome of literer and discus

Lalu, apa yang hendak saya bahas dalam tulisan ini. Begini!, saya mengamati akhir-akhir ini “libido” menulis rekan-rekan saya, semakin menggebu-gebu. Setidaknya itu terlihat dari majalah tembok (Mabok), ralat, majalah dinding maksudnya, yang sudah tak kuasa lagi menahan huruf demi huruf. Yang kemudian menyusun menjadi kata, lalu kemudian terangkai menjadi kalimat yang apik, lalu membangun satu kesatuan kalimat, hingga disebut sebagai sebuah karya tulis (mau mi’ diganti kodong gabusnya, ganti ki’ dengan yang lebih besar lagi). Bukankah hal tersebut merupakan sesuatu yang fenomena kawan? Mereka menisbatkan diri dalam sebuah komunitas “antik” D17. Antik? Iya, antik. Emang kenapa? Ada yang salah ya? Mereka yang sering singgah-entah untuk melakukan apa saja-dan tinggal di D 17, mereka itulah komunitas antik. Demikianlah mereka saya sebut. Baik, kita mulai. Tapi mulai dari mana ya? Oh, saya baru dapat ide. Jangan berpaling dulu.

Komunitas antik Wesabbe D17 (WD17), demikianlah saya menyebutnya. Komunitas ini bukan tempat kongko-kongko. Bukan pula komunitas yang biasa-biasa aja. Mereka bergerak dan berbuat di atas rel-rel dakwah menuju sebuah tujuan mulia: menggapai ridha-Nya untuk kejayaan islam. Komunitas ini unik. Penunggunya (baca: orang yang menetap dan sering bermalam di D17), pun unik. Uniknya, karena beberapa hari yang lalu kami seperti kahilangan ide dan motivasi lantaran tidak bersentuhan dengan tuts keyboard computer, dikarenakan computer yang kami pakai diambil kembali oleh si empunya. Mungkin terindikasi syndrome literer. Sebuah sindrom ketagihan menulis atau ada kecemasan ketika tidak menulis. Demikian diagnosa awal saya (cie…, kaya dokter aja). Tapi yang pasti, sekarang computer KAMDA dah bagus dan bisa dipake buat nulis-nulis.

Banyak alasan kenapa orang harus menulis. Tapi sebahagian besarnya mengarah kepada satu kesimpulan: aktualisasi diri. Lantas, apa yang salah dengan aktualisasi diri? Over acting kah hal tersebut? Tidak! Sah-sah saja kok jika seseorang keranjingan menulis. Menurut saya itu hal yang fitrawi. Bahkan Abraham Maslow yang juga kita kenal dengan teori Jembatan Maslow nya, menempatkan aktualisasi diri adalah kebutuhan yang utama dan mendasar bagi manusia dibandingkan dengan kebutuhan lainnya (kebutuhan primer, sekunder dan tersier). Hanya saja, menulis dalam ruang publik butuh pertanggung jawaban (acountability), sehingga tulisan menjadi lebih bermakna. Bagi aktivis dakwah, Intinya jangan sembarang menulis, apalagi tulisanya sesat lagi menyesatkan (he…99x. Kaya fatwa ulama saja).

Bagi komunitas antik (antic-ers), menulis adalah suatu keharusan atau sesuatu yang wajib. Tiap hari harus ada karya yang lahir dari kamar kita masing-masing. Makanya antic-ers ini mencoba menginisiasi dan memberi contoh kepada kader-kader KAMMI untuk menumbuhkan budaya literer ini. Jangan hanya menulis karena keterpakasaan. atau hanya karena membayar iqob. Tulis aja, seolah tanpa beban. Biarkan pikiran kita mengembara dan salurkan lewat tuts keyboard. Demikianlah komunitas antic-ers ini berkarya. Hal-hal yang (biasa dianggap) sepelepun juga diwacanakan untuk kemudian didiskusikan. Masalah apa saja, tidak peduli apakah masalah tersebut substansi atau tidak. Dalam ruang diskusi terjadi dialetika. Artinya ada komunikasi dua arah. Dalam ruang dialetika, tidak mengenal masalah itu substansi atau tidak substansi. Sebab, dalam ruang diakletika tidak ada yang tidak substansi. Semuanya serba substansi. Begitulah uniknya antic-ers. Sekali lagi jangan phobia dengan diskusi. Dari diskusi, input informasi akan tertananm dalam ingatan kita, kemudian kita tumpahkan kembali dalam bentuk tertulis. Luar biasa!. Inilah komunitas antik. Mereka memilih menikahi tuts keyboard dan monitor komputer untuk membunuh dinginnya malam, serta saat syndrome ingin menikah mulai mampir di ubun-ubun. Proses berpikir terbangun dari sini, sehingga otak tidak tumpul.

Fenomenologi komunitas antic: Style, character and behavior

Dari segi penampilan aja, masing-masing nggak matching. Ada yang celananya di atas mata kaki, ada yang berpenampilan seperti preman, tapi untungnya berhati Stinky, ada yang body nya terlalu over (Boge= Body gede maksudnya), ada yang seperti Kutilang (Kurus tinggi langsing maksudnya). Ada juga yang punya waktu khusus untuk tidur: tidur pagi. Pokonya macam-macam deh. Dari sifat dan karakter apalagi. Ada yang tawadhu sekali, ada yang diam-diam menghanyutkan, ada yang sensitif, ada yang suka terbawa emosi, ada yang karakternya keras, ada juga yang berkarakter kapitalis lantaran selalu minta ditraktir tanpa kontribusi sedikitpun, intinya pake teori asas manfaat (he…3x, ini kebiasaan buruk Bro! Tapi ukhuwah kita masih ada kan?). Demikian julukan yang diberikan oleh salah seorang diantara kami.

Dialog antara sifat dan karakter keakuan yang majemuk tersebut, membuat para komunitas antic (antic-ers) harus bisa mendefinisikan ulang keakuannya masing-masing. Hal ini perlu, agar tidak terjadi benturan, sehingga melahirkan ke-kita-an. Untuk itu diperlukan kesalingpahaman. Makanya saya menuliskannya agar kita menyadari, bahwa ada yang perlu diperbaiki dari diri kita. Tapi meskipun demikian, nuansa keakraban juga lahir dari karakter yang majemuk. Tulisan ini juga dimaksudkan untuk mengobati syndrome literer yang sedang menjangkiti saya. Wallahu’alambishowaab.

No copyright. Silahkan dibajak habis-habisan. Pelanggaran terhadap tulisan ini, tidak akan dikenai pasal apa-apa, apalagi pasal pembajakan. Maaf tulisan ini belum dipublikasikan apalagi best seller, karena memang tidak niat untuk diperjual belikan apalagi diperdagangkan (tetap aja sama maknanya Bung!!!). Sepertinya saya harus menulis nama nih! agar nggak dituduh yang macam-macam. Saya Aryanto Abidin. Jabatan:bukan siapa-siapa kok.

Pantangan membaca tulisan ini: Dilarang membaca diam-diam, Jangan baca saat marah atau kesal, Nggak boleh syirik, Tulisan ini adalah pengantar tidur, makanya jangan baca kalo kamu lagi sedang serius. Saya menulis tulisan ini saat saya sedang bosan, makanya tulisan ini juga membosankan (nggak mutu, tau. Tulisan ini nggak konsisten, bawaannya serius, eh…, ujung-ujungnya ngawur coy!. Masih mau ko’!!.

Halo, Apa Kabar Ospek?

Posted in Uncategorized on Agustus 21, 2006 by Aryanto Abidin

Halo, Apa Kabar Ospek?
Oleh: Aryanto Abidin

Jika hati anda bergetar melihat penindasan, maka lawanlah
sebab diam adalah bentuk penghianatan

(Ernesto ‘Che’ Guevara)

Halo!, apa kabar Ospek?. Masihkah kau seperti dulu?. Masihkah kekerasan sebagai make-up yang membungkus wajahmu? masihkah kekerasan menjadi pemanis ritualmu?. Prosesi penyambutan Mahasiswa Baru kalau tidak ingin disebut ‘Mangsa Baru’ bagi senior-seniornya. Betapa tidak, setiap mahasiswa baru mendapat perlakuan yang sangat tidak etis bahkan bisa dikatakan saling berjabat tangan dengan pelanggaran HAM (Penindasan,pemerasan dan kekerasan). Prosesi penyambutan mahasiswa baru atau yang lebih sakralnya disebut “OSPEK”, kini lagi marak-maraknya. Di kampus merah ini pun persiapan untuk penyambutan sudah disiapkan jauh-jauh hari. Bahkan konon kabarnya lebih baik program kerja yang lainnya tidak jalan ketimbang Ospek. Ospek seperti kita ketahui bersama sangat rentan dan memberi peluang bagi terjadinya kekerasan. Meskipun banyak pihak yang menentang ospek, namun hal itu dianggap angin lalu dan ospekpun “melenggang kangkung” menuai kekhawatiran di kalangan orang tua mahasiswa baru.

Dasar kita (baca: mahasiswa) memang tak pernah kehilangan akal. Dengan susah payah demi terlaksananya Ospek, lembaga-lembaga mahasiswa-pun menggagas yang namanya Ospek damai (mudah-mudahan bisa damai lahir maupun batin).

Untuk mempersiapkan ospek ini, lembaga-lembaga mahasiswa tingkat fakultas sudah memformatnya dua hingga tiga bulan sebelumnya. Bahkan untuk menciptakan Ospek Damai, mereka (baca: lembaga-lembaga Mahasiswa) sampai ‘Jatuh Bangun’ untuk membentuk suatu forum formal demi ter-Legitimate-nya kembali Ospek. Siapa sih yang mau melewatkan momen ospek ini ?. Selain merupakan lahan produktif untuk mengais rejeki nomplok, bagi senior-senior yang ingin ‘senter-senter’ maka ospeklah tempatnya. Bagi yang suka ‘pajak-pajak’ untuk sebungkus rokok atau satu botol Coca Cola, maka ospeklah tempatnya. Bagi senior-senior yang ‘Gila Hormat’, sangat sayang untuk melewatkan momen yang berharga ini.

Bagi para orang tua Mahasiswa Baru, ada kebanggan tersendiri di hati mereka sekaligus kedukaan yang mendalam. Kebanggan mereka adalah ketika mereka melihat nama anak-anak mereka terpampang di surat kabar atau pada saat hari pengumuman SPMB. Kedukaan mereka adalah ketika mendengar nama ospek. Ya, Ospek. Kata yang terdiri dari lima huruf ini tak jarang membuat ciut nyali. Ospek merupakan momok yang menakutkan yang kadang-kadang mengundang air mata, meminta darah, cacat fisik, dan tak jarang meminta nyawa tiap tahunnya sebagai tumbal egoisme senior. Anehnya lagi, seolah-olah peristiwa tersebut direstui pikiran dan hati nurani kita yang turut ambil bagian maupun yang memberi lampu hijau bagi terlaksananya ritual tersebut. Adakah hati kita bergetar melihat penindasan di depan mata kita. Maka kalau memang hati kita sudah seperti batu yang kokoh, lalu apa bedanya kita dengan binatang ?, atau bahkan lebih rendah daripada binatang. Mungkin kalimat tersebut tidak berlebihan karena mengingat manusia dibekali akal dan perasaan untuk memancarka nilai-nilai kemanusiaan di sekeliling kita. Bukankah tujuan penciptaan manusia dimuka bumi ini untuk menjadi khalifah?, dengan tujuan membumikan nilai-nilai ketuhanan. Kenapa kita tidak mencoba menghadirkan nilai-nilai ketuhanan dalam setiap aktivitas kita.

Kampus (katanya) merupakan tempat ilmiah, kini berubah menjadi pusat ‘berhala-berhala’ baru, dimana manusia yang ada di dalamnya cenderung ingin mempertontonkan dirinya sebagai Tuhan. Dalam kaitannya dengan ritual tahuanan ini kita akan dingatkan tentang dongeng Lucifer. Ya!, Lucifer sang malikat jahat yang diusir dari surga, kemudian menjadi manusia yang berperawakan tampan dan gagah diatas muka bumi ini yang setiap saat sangat haus akan darah. Mungkin seperti itulah kita sekarang ini. Di Unhas sendiri sejak berdirinya sampai sekarang, entah sudah berapa banyak darah, air mata, cacat fisik, dan nyawa yang dipersembahakan untuk memuja roh egoisme dalam ritual tahunan tersebut. Para orang tua Maba harus menelan ludah ketika anaknya menyodorkan daftar perlengkapan ospek yang mirip dengan daftar menu yang ada di hotel-hotel mewah. Ditambah lagi dana kelembagaan, yang bila semuanya dijumlahkan bisa melampaui uang pendidikan selama satu semester. Ingat kawan, Orang yang menginjakan kakinya (baca: kuliah) di Unhas ini bukanlah orang-orang dari golongan menengah ke atas saja. Ada beragam golongan yang kuliah di Unhas ini dan dengan berbagai latar belakang ekonomi yang beragam pula. Ada yang ekonominya menengah ke atas, kelas menegah dan kelas menengah ke bawah, mungkin aku masuk golongan yang terakhir ini. Bagi golongan menengah atas, uang sebesar ratusan ribu mungkin hanyalah jumlah nominal tagihan telepon mereka tiap bulan. Akan tetapi bagi golongan menengah ke bawah, jumlah nominal tersebut harus dengan bercucuran keringat atau pontang-panting meminjam ke tetangga. Kalupun kedua alternatif tersebut sudah tidak mungkin, mungkin jalan terakhir adalah meminjam pada rentenir dengan tawaran bunga yang tinggi yang kian hari kian membengkak.

Mereka harus rela menunggu anaknya di gerbang-gerbang fakultas hanya untuk menantikan detik-detik terakhir episode pembantaian tersebut. Mereka tidak pernah bermimpi bahwa sesampainya anak-anak mereka di pintu gerbang kampus, kemerdekaan mereka direnggut, darah mengalir, pulang dengan cacat pada bagian tubuh ataupun nyawa melayang. Toh mereka tetap tabah, hanya air matalah yang menjadi luapan emosi mereka. Dimana nurani kemanusiaan kita?. Apakah untuk membentuk karakter mahasiswa baru yang militant, kritis dan tercerahkan harus dengan kekerasan?. Tidak. Sekedar catatan, bahwa kekerasan tidak akan pernah membentuk pribadi yang militant, kritis dan tercerahkan akan tetapi justru akan membentuk karakter preman di kalangan mahasiswa baru serta melahirkan penindas-penindas baru dalam kampus ini. Sepertinya hal ini akan menjadi rantai setan yang sangat sulit diputuskan jika nuansa kekerasan masih mewarnai di setiap prosesi penyambutan mahasiswa baru. Ingat!, untuk membentuk karakter mahasiswa baru yang militant, kritis, dan tercerahkan tidak cukup dalam waktu hitungan hari akan tetapi butuh waktu dan proses yang lama.

Bagi orang tua Maba, ketika menyaksikan anaknya menjadi mahasiswa setidaknya memberi sedikit harapan atas mimpi-mimpi mereka tentang masa depan anaknya. Ospek yang memang sudah masuk dalam ‘buku hitam’ orang tua Mahasiswa Baru, bahkan sudah menjadi catatan kebencian bagi mereka. Seandaianya mereka diminta untuk menulisnya, maka Ia akan menuliskannya pada lembaran pertama buku hitamnya dengan menggunakan tinta berwarna “ sedih dan prihatin”.

Tindakan yang yang tidak sepantasnya dilakukan oleh sosok yang berlebel mahasiswa (Penidasan,pemerasan bahkan sampai pada pelecehan……???). Mahasiswa ! ya mahasiswa, konon kabarnya kelompok The middle Class yang satu ini mengkalaim dirinya sebagai kelompok yang anti penidasan, kelompok yang mewakili orang-orang tertindas, kelompok yang mewakili suara rakyat. Saya sangat ngeri ketika saya mengklaim diri saya sebagai orang yang anti penindasan lewat sumpah mahasiswa. Sumpah yang diucapakan secara lisan dan tidak pernah dimaknai itu, hanyalah formalitas atau ritual belaka ketika seseorang pertama kali memakai baju kebesarannya yang di depannya bertuliskan mahasiswa dan dengan dada membusung, kita tampil sebagai hero kesiangan. Saya takut nanti kita (baca: Mahasiswa) di cap sebagai ‘maling’, maksud saya maling teriak maling. Di satu sisi kita benci yang namanya penindasan dan kroni-kroninya, akan tetapi di lain pihak kita sendirilah yang mempeloporinya. Bahkan kita mengabadikannya dalam sebuah sumpah, Sumpah Mahasiswa. Ya…! Sumpah Mahasiswa yang sudah mulai mengalami distorsi makna dan esensinya ini. Adalah bukan hal yang tidak mungkin ketika dua puluh tahun atau tiga puluh tahun yang akan datang sumpah mahasiswa tidak dibutuhkan lagi, baik dari segi makna mapun dari esensi. Atau mungkin sebaiknya diganti dengan sumpah binatang, [Kami mahasiswa Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa binatang], [Kami mahasiswa Indonesia mengaku bertanah air satu, tanah air penindasan] [Kami mahasiswa Indonesia mengaku berbahasa satu bahasa kekerasan]. Wallahualambishawaab.

Malu Aku Bicara Komitmen

Posted in Uncategorized on Agustus 20, 2006 by Aryanto Abidin

Malu Aku Bicara Komitmen

Oleh: Aryanto Abidin

Beberapa hari terakhir ini, saya begitu resah. Resah dengan segala yang membuat saya resah. Bahkan hampir-hampir Tuhan pun saya abaikan. Sepertinya, untuk permasalahan ini, saya harus istighfar sebanyak-banyaknya (maafkan aku Tuhan. Ijinkan aku mencintaimu sekali lagi). Keresahan itu selalu mengganggu pikiran dan jiwa saya. Resah dengan negeri ini, resah dengan manusia indonesia, resah dengan perempuan indonesia, resah dengan penguasa dan pejabat di negeri ini. Resah dengan mahasiswa indonesia, resah dengan prilaku primitif mahasiswa makassasr, resah dengan kampusku yang nir-makna dan nir-nilai, dimana idealisme dipecundangi. Ruang dialog tertutup rapat, dosen yang arogan dan masih banyak kebejatan-kebejatan lain yang lahir dari kampus kita. Maka jangan heran, ada mahasiswa yang mengaku aktivis, padahal aktivis karbitan. Ada juga yang mengaku aktivis, membela yang tertindas tapi uang bencana Aceh pun dibawa kabur. Atau mengaku aktivis untuk menggombal si mahasiswi. Ada lagi yang lebih hancur, ada aktivis yang bicara serba ideal kalo dalam forum. Eh, setelah diluar forum berperilaku bejat. Alih-alih menanamkan idealisme pada adik-adik angkatannya, eh, ternyata ujung-ujungnya minta alamat dan nomor ponsel/telepon (bersyukurlah anda tidak menjadi korbannya). Makanya kamu harus hati-hati dengan senior yang seperti ini. Mungkin inilah gambaran dari produk kampus yang bejat dan nir-makna serta jauh nilai-nilai akademis dan moralitas. Apakah ini bentuk komitmen yang tercederai dari sebuah istitusi pendidikan?

Ada hal yang saya lupa sebutkan. Tentu saja, saya harus resah dengan diri sendiri. Resah dengan masa depan saya, resah dengan ilmu yang selama ini saya tekuni. Saya selalu dikejar-kejar dan diteror oleh pertanyan-pertanyaan, akankah saya mampu mempertanggung jawabkannya ketika harus bersentuhan dengan masyarakat? Saya juga resah dengan status kemahasiswaan saya. Akankah kita tetap eksis setelah tidak lagi menjadi penguasa (baca:mahasiswa) di kampus? Mampukah kita melakukan perubahan sosial dalam masyarakat kita? Fenomena post power syndrome (baca:sebuah ketakutan atau kecemasan setelah tidak lagi berkuasa) merupakan pil pahit yang membunuh asa dan semangat saya (mungkin juga anda). Akankah ini adalah gejala runtuhnya bangunan idealisme yang saya bangun terhadap pilihan saya, perlahan mulai terkikis?. Sepertinya, untuk urusan yang satu ini, saya tidak akan membiarkan kepada waktu utuk menjawab atau menuntaskan semua ini.

Keresahan saya semakin memuncak. Awal Juli lalu, ponsel saya disesaki oleh missed call nomor misterius. Tukang missed call gelap ini mengusik saya hampir setiap hari dalam seminggu. Padahal saya tidak pernah membangun ruang konflik dengan siapapun. Atau memberikan ruang untuk tumbuhnya apa yang disebut dengan Virus Merah Maroon (VMM) (ini usulan baru untuk dijadikan sebuah terminologi). Hingga sampai-sampai si tukang missed call tersebut berani-beraninya mengunkapkan-lewat SMS- bahwa ia fall in love ke saya (“lho kok saya jadi bahas yang ginian sih. ga mutu, tau nggak?”). Apa ini nggak gila? Peristiwa ini membuat saya harus merenung dan banyak introspeksi diri. Bahkan berkeping tanya selalu memburu nalar saya. Apa penampilan saya kurang meyakinkan untuk disebut sebagai ustadz? Hingga si tukang missed call tadi berani-beraninya menyatakan fall in love ke saya. Jenggot sudah ada, titik hitam di jidat ada juga. Lalu kurang apalagi dari saya? Oh, saya tahu!!. Mungkin celana saya kurang menggantung. Atau baju koko tidak menempel di badan saya. Mungkikah ini adalah wujud komitmen yang terrenggut? Hingga untuk menegaskan identitas saja begitu separuh napas dalam mempraksiskannya. Sayapun berkesimpulan, ternyata untuk menciptakan identitas tidak cukup dengan simbol.

O ya, saya hampir lupa. Ada lagi yang membuat saya resah. Resah dengan sebuah komunitas. Komunitas yang selama ini tempat saya mencurahkan waktu, tenaga dan pikiran saya. Sebuah kominitas yang begitu komitmen menegakan kalimat ilahiyah dan selalu berpegang teguh pada sunnah Rasul. Komunitas tersebut adalah komunitas tarbiyyah.. Demikianlah komunitas yang saya maksud. Doktrin-doktrin dakwah begitu kental yang selalu mewarnai orang-orang yang tergaung dalam komunitas ini. Ukhuwah yang juga merupakan rukun ke sembilan dalam rukun bai’at menjadi perekatnya. Komitmen dan konsisten menjadi kata sakti yang bertebaran di setiap rapat-rapat. Kadang-kadang saya bertanya, seperti apa sih komitmen yang kita maksud? Hingga kita begitu mudah mengobralnya tanpa mepertimbangankannya masak-masak. Apa ini yang disebut dengan Asbun (baca: asal bunyi), “tong kosong cantik bunyinya” (meminjam judul tulisan salah seorang akhwat). Eh, salah ya?. Tong kosong nyaring bunyinya. Yang ini yang betul.

Bagi saya, kata komitmen adalah kata yang sakral. Ia adalah totalitas. Lalu pertanyaannya kemudian, dimana letak sakralnya? Seperti yang saya sebutkan tadi, letak sakralnya sebuah komitmen adalah pada totalitasnya. Ketika kita berbicara totalitas, maka ada beberapa variabel yang harus kita pegang erat-erat. Beberapa variabel tersebut adalah ikhlas, pengorbanan, amal atau kerja nyata, ketaatan, dan dedikasi. Ketika kita melafalkan tentang komitmen, maka kitapun harus melakoni variabel di atas. Tentu, kita juga harus siap dengan segala konsekwensi yang akan muncul di kemudian hari. Oleh karenanya, setiap pilihan sadar kita adalah totalitas. Karna, kalau tidak seperti itu, kita akan ditertawakan oleh peradaban. Sehingga diharapkan nantinya, tidak ada lagi wilayah yang abu-abu dalam menjalaninnya.

Kadang kita tidak pernah berpikir bahwa amanah itu akan jatuh pada pundak kita. Apalagi kalau sudah bersentuhan dengan doktrin dakwah. Maka, seribu satu alasanpun yang diungkapkan menjadi gugur tatkala kepentingan dakwah begitu menginginkan kita. Kenapa demikian? Karena dalam logika jamaah, satu-satunya yang berharga adalah kadernya atau anggotanya. Tapi ingat!, dakwah tak kenal henti, ada dan tidak adanya kita di dalamnya. Kalimat itu begitu nyaring di telinga saya. Menampar seisi jiwa, untuk tersadarkan kembali dan mengingat masa-masa manis bersama iman dan ruhiyyah yang kokoh. Bahkan saya harus berfikir ulang untuk mencoba menghianatinya (baca:dakwah). Namun, saya harus menggugat ulang kepada mereka yang menggunakan doktrin tersebut hanya ingin dibilang sebagai militan atau pejuang dakwah. Sementara dalam tataran pelaksanaannya bernyali ciut, bermental krupuk. Maka, jangan pernah menolak amanah dakwah itu. Menyakitkan memang!, disaat kita sedang bergelimangan amanah, sementara di sisi lain mereka yang menyebut dirinya juga “aktivis dakwah” begitu terlena dengan rutinitas mereka. Maka sayapun bertanya-tanya, apa iya kita akan mampu berkomitmen seperti itu?. Saya kadang ragu dengan itu semua. Indikasinya jelas. Menolak amanah salah satu contohnya. Atau jangan-jangan doktrin tersebut hanya pepesan kosong. Maka, saya mencoba meminjam istilah teman saya “nggak usah banyak ngomong Bos!”. Kalau memang anda punya komitmen, maka saya mencoba memenggal kalimat dalam sebuah iklan rokok, mana ekspresi lu?.

Kemerdekaan berpikir, melahirkan tulisan ini. Ya Allah jika jalan dakwah ini begitu panjang, maka berikan kami kekuatan untuk sampai pada jalan tersebut.Ya Allah, jika beban dakwah ini begitu berat,

maka kuatkanlah punggung kami untuk menerima beban tersebut. Jangan bersedih anak muda. Biarkan Rabb-mu saja yang menghapus peluh dan segala keluh kesahmu mu.t


Luka itu Milik Siapa?

Posted in renungan on Agustus 3, 2006 by Aryanto Abidin

Ada tanya mulai memburu: mengapa harus ada luka?
Tapi kenapa tidak kau tanyakan: darimana luka itu?
Sudikah kita melihat kuntum-kuntum iman
yang sedang layu di taman-taman dakwah
Sekedar mengokohkannya untuk tetap teguh
Lalu menuai kuntum-kuntum yang baru

Kawan!
Sepertinya, ada yang mencuri ukhuwah kita pagi ini
Saat doa Rabitha lupa mengoyak sunyi
Sebagai kado iman untuk saudara-saudara kita
Hingga malam menyembunyikan siang
Sampai waktu akan terus menjaga mereka

Kawan!
Mengapa ada tanya: mengapa harus ada luka?
Mengapa tanya itu harus memecah telinga?
Tidakah kau tanya: untuk apa tanya itu?
Sepertinya tanya itu hanya menorehkan memar di jiwaku
Membuat luka yang teramat lebar di hatiku
Aku hanya berharap, semoga waktu menyembuhkan lukaku

Aku masih saja disiksa pertanyan
Dan engkaupun harus ungkapkan tanya: luka itu milik siapa?
Ah, sepertinya tanya ini hanya miliku saja
Mungkin juga rasa ini rasaku jua

Kamar kontempelasi, rumah sejuta ide, Wesabbe D 17
Kamis, 3 Agustus 2006 Jam 8 pagi

Saat matahari pagi menyemburkan sinar keagungannya,
menebar rezki kepada siapa saja. Saat waktu mulai luruh.
Saat sekertariat ini mulai disesasaki dengan rapat,
walau sesekali membuyarkan kontempelasiku.
Saat nalarku masih menyimpan tanya itu.
Saat jiwaku masih saja resah dengan tanya itu.
Maka akupun memilih menuntaskan resahku dengan
bait (puisi) picisan ini. Untuk itulah puisi ini tercipta.

Sujud Bintang-Bintang

Posted in Uncategorized on Juli 26, 2006 by Aryanto Abidin

Pekat
Tak ada temaram malam ini
Sekedar mengusir gelap di lubuk jiwaku
Menghapus mendung yang sedang mencumbui ruang di hatiku
Hanya rintihan jangkrik turut meramaikan simphoni malam pekat

Pekat malam ini
Tak ada penanda masa depan
Seolah Membahasakan kepadaku
Tak ada masa depan di negeri ini

Pekat malam ini
Hanya bintang-bintang mencoba merayu
Memberi pijar pada lubuk jiwaku yang gelap
Menepis keresahan
Memberi jawaban atas keraguan pada kemahaan-Nya

Malamku berujung
Sebelum waktu merampas waktuku
Aku ingin bersaksi
Tentang sujudnya bintang-bintang
Kepada sang pemilik waktu

Malamku usai
Ada asa baru mulai menyesak di ufuk sana
Pertanda bintang-bintang tak lagi bintang
Aku ingin mejemput asa itu
Bermujahadah untuk kokoh di jalan-Nya
Seperti kokohnya karang
Tatkala ombak mebelainya dengan ganas
Bintang-bintang tak lagi bintang
Bintang-bintang kembali membintang
Tatkala senja mulai layu
Lalu pekat membawanya kembali membintang.

Mega Buana, Saat Senja mulai layu ku tumpahkan semua di sini
-2 hari menjelang Kongres Kema Unhas (18 Juli 2006)

Rasa itu

Posted in Uncategorized on Juli 25, 2006 by Aryanto Abidin

Ada yang harus ditangisi
Ada rasa mulai hilang
Saat jiwa tak lagi mencumbui Rabb-Nya
Saat lidah tak lagi keluh bertasbih menyebut nama-Nya
Saat lupa menyesaki tiap desah nafas
Saat Kesombongan mulai liar
Saat dunia begitu melenakan
Semuanya menjadi kering
Linear dengan hatiku yang sedang kemarau
Oh…, mengapa rasa itu harus merasaiku?
Tatkala aku sedang mendendangkan senandung mujahid muda

Pengecut!
Lirih itu membuncah dari ruang hatiku
Seperti sunami
Melumat Seisi jiwaku
Meluluhlantahkan keegoan
Yang sedang berdiri mengangkang
Di atas jiwa yang tandus
Untuk tersadar seketika
Membuatku ingin muntah
Memuntahkan penat yang selama ini mencumbui jiwaku

Rasa itu
Seperti sepoi yang membelai nyiur
Perlahan membunuhku
Melawan adalah keabadian
Takluk adalah penghianatan
Penghianatan atas penghambaan
Takluk adalah pengecut
Batinku berbisik lirih
Tak ada tempat bagi pengecut
Karena negeri ini tidak dibangun dari jiwa yang pengecut
Saatnya bangkit anak muda


Kontempelasi hari ketiga Kongres Mahasiswa Unhas
Wisma Depsos Banti murung jam 8 pagi di

Terlalu banyak untuk dikhianati. Tak ada tempat bagi pengecut,
tak ada tempat bagi penghianat. Tak boleh ada kata mundur,
karena mundur adalah sebuah pengingkaran.
Mengingkari realitas kehambaan.
Kehambaan yang dipersaksikan saat di alam rahim.
Sekali lagi, Saatnya Bangkit Anak Muda (SABAM)

Makna Wudhu (Silahkan diCopy Paste dengan mencantumkan nama penulisnya)

Posted in Uncategorized on Juli 24, 2006 by Aryanto Abidin
Ditulis Oleh: M. Luqman Hakim
dikirim oleh Rosalina


Wudlu' kita sehari-hari, ternyata tidak sekadar
membasuh muka, tangan, kepala, telinga maupun kaki.
Wudlu’ diposisikan sebagai amaliah yang benar-benar
menghantar kita semua, untuk hidup dan bangkit dari
kegelapan jiwa. Dalam Wudlu'lah segala masalah dunia
hingga akhirat disucikan, diselesaikan dan
dibangkitkan kembali menjadi hamba-hamba yang siap
menghadap kepada Allah SWT.

Bahkan dari titik-titik gerakan dan posisi yang
dibasuh air, ada titik-titik sentral kehambaan yang
luar biasa. Itulah, mengapa para Sufi senantiasa
memiliki Wudlu' secara abadi, menjaganya dalam kondisi
dan situasi apa pun, ketika mereka batal Wudlu,
langsung mengambil Wudlu seketika.
Mari kita buka jendela hati kita. Disana ada ayat
Allah, khusus mengenai Wudlu.

"Wahai orang-orang yang beriman, apabila engkau hendak
mendirikan sholat, maka basuhlah wajahmu dan kedua
tanganmu sampai siku-siku, dan usaplah pada kepalamu
dan kaki-kakimu sampai kedua mata kaki…"
Manusia yang mengaku beriman, apabila hendak bangkit
menuju Allah ia harus berwudlu' jiwanya. Ia bangkit
dari kealpaan demi kealpaan, bangkit dari kegelapan
demi kegelapan, bangkit dari lorong-lorong sempit
duniawi dan mimpi di tidur panjang hawa nafsunya.

Ia harus bangkit dan hadlir di hadapan Allah, memasuki
"Sholat" hakikat dalam munajat demi munajat, sampai ia
berhadapan dan menghadap Allah.

Sebelum membasuh muka, kita mencuci tangan-tangan kita
sembari bermunajat:
Ya Allah, kami mohon anugerah dan barokah, dan kami
berlindung kepadaMu dari keburukan dan kehancuran.

Lalu kita masukkan air untuk kumur-kumur di mulut
kita. Mulut kita adalah alat dari mulut hati kita.
Mulut kita banyak kotoran kata-kata, banyak
ucapan-ucapan berbusakan hawa nafsu dan syahwat kita,
lalu mulut kita adalah mulut syetan.

Mulut kita lebih banyak menjadi lobang besar bagi
lorong-lorong yang beronggakan semesta duniawi. Yang
keluar dan masuknya hanyalah hembusan panasnya nafsu
dan dinginnya hati yang membeku.
Betapa banyak dalil-dalil Al-Qur'an dan Hadits, betapa
berlimpah ruahnya fatwa amar ma'ruf nahi mungkar,
tetapi karena keluar dari mulut yang kotor, hanyalah
berbau anyir dalam sengak hidung jiwa kita. Karena
yang mendorong amar ma'ruf nahi mungkarnya bukan
Alllah, tetapi hasrat hawa nafsunya, lalu ketika
keluar dari jendela bibirnya, kata-kata indah hanyalah
bau anyir najis dalam hatinya.

Sesungguhnya mulut-mulut itu sudah membisu, karena
yang berkata adalah hawa nafsu. Ayo, kita masuki air
Ilahiyah agar kita berkumur setiap waktu.
Bermunajatlah ketika anda berkumur:
Oh, Tuhan, masukkanlah padaku tempat masuk yang benar,
dan keluarkanlah diriku di tempat keluar yang benar,
dan jadikanlah diriku dari DiriMu, bahwa Engkau adalah
Kuasa Yang Menolongku.

Oh Tuhan, tolonglah daku untuk selalu membaca KitabMu
dan dzikir yang sebanyak-banyaknya, dan tetapkanlah
aku dengan ucapan yang tegas di dunia maupun di
akhirat.

Baru kemudian kita masukkan air suci yang menyucikan
itu, pada hidung kita. Hidung yang suka mencium aroma
wewangian syahwat dunia, lalu jauh dari aroma syurga.
Hidung yang menafaskan ciuman mesra, tetapi
tersirnakan dari kemesraan ciuman hakiki di
SinggasanaNya.
Oh, Tuhan, aromakan wewangian syurgaMu dan Engkau
melimpahkan ridloMu…

Semburkan air itu dari hidungmu, sembari munajatkan
Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari aroma busuknya
neraka, dan bau busuknya dunia.

Selanjutnya:
"Basuhlah wajah-wajahmu…"

Dengan menyucikan hatimu dengan air pengetahuan yang
manfaat yang suci dan menyucikan, baik itu bersifat
pengetahuan syariat, maupun pengetahuan hakikat, serta
pengetahuan yang bisa menghapus seluruh
penghalang-penghalang, hijab, antara dirinya dan
Allah.
Faktanya setiap hari kita Wudlu' membasuh muka kita,
tetapi wajah-wajah kita tidak hadir menghadap Allah,
tidak "Fa ainamaa tuwalluu fatsamma wajhullah…"
(kemana pun engkau menghadap, wajah hatimu menghadap
arah Allah).
Kenapa wajah dunia, wajah makhluk, wajah-wajah
kepentingan nafsu kita, wajah-wajah semesta, wajah
dunia dan akhirat, masih terus menghalangi tatapmuka
hati anda kepada Allah Ta'ala? Ini semua karena
kebatilan demi kebatilan, baik kebatilan dibalik wajah
batil maupun kebatilan dengan selimut wajah kebenaran,
telah membatalkan wudlu jiwa kita, dan sama sekali
tidak kita sucikan dengan air pengetahuan
ma'rifatullah dan pengetahuan yang menyelamatkan dunia
akhirat kita.

Hijab-hijab yang menutupi wajah jiwa kita untuk
melihat Allah, sudah terlalu tua untuk menjadi topeng
hidup kita. Kita bertopeng kebusukan, bertopeng
rekayasa, bertopeng kedudukan dan ambisi kita,
bertopeng fasilitas duniawi kita, bertopeng hawa nafsu
kita sendiri, bahkan bertopeng ilmu pengetahuan kita
serta imajinasi-imajinasi kita atau jubah-jubah agama
sekali pun.
Lalu wajah kita bopeng, wajah ummat kita penuh dengan
cakar-cakar nafsu kita, torehan-torehan noda kita,
flek-flek hitam nafsu kita, dan alangkah bangganya
kita dengan wajah-wajah kita yang dijadikan landskap
syetan, yang begitu bebas menarikan tangan-tangannya
untuk melukis hati kita dengan tinta hitam yang
dipanggang di atas jahanam.
Karena wajah kita lebih senang berpaling, berselingkuh
dengan dunia, berpesta dalam mabuk syetan, bergincu
dunia, berparas dengan olesan-olesan kesemuan hidup,
lalu memakai cadar-cadar hitam kegelapan semesta
kemakhlukan.

Banyak orang yang mata kepalanya terbuka, tetapi
matahatinya tertutup. Banyak orang yang mata kepalanya
tertutup, matahatinya terbuka. Banyak orang yang
matahatinya terbuka tetapi bertabur debu-debu
kemunafikan duniawinya. Banyak orang yang sudah tidak
lagi membuka matahatinya, dan ia kehilangan Cahaya
Ilahi, lalu menikmati kepejaman matahatinya dalam
kegelapan, yang menyangka ia dalam kebenaran dan
kenikmatan.

Oh, Allah, bersihkan wajahkku dengan cahayaMu,
sebagaimana di hari Engkau putihkan wajah-wajah
KekasihMu. Ya Allah janganlah Engkau hitamkan wajahku
dengan kegelapanMu, di hari, dimana Engkau gelapkan
wajah-wajah musuhMu.

Tuhan, sibakkan cadar hitamku dari tirai yang
membugkus hatiku untuk memandangMu, sebagaimana Engkau
buka cadar para KekasihMu…

"Dan basuhlah kedua tanganmu sampai kedua
siku-sikumu…"

Lalu kita basuh kedua tangan kita yang sering
menggapai hasrat nafsu syahwat kita, berkiprah di
lembah kotor dan najis jiwa kita, sampai pada tahap
siku-siku hakikat kita dan manfaat agung yang ada di
sana.
Tangan kita telah mencuri hati kita, lalu ruang jiwa
kita kehilangan khazanah hakikat Cahaya hati. Tangan
nafsu kita telah mengkorupsi amanah-amanah Ilahi dalam
jiwa, lalu kita mendapatkan pundi-pundi duniawi penuh
kealpaan dan kemunafikan.

Tangan-tangan kita telah merampas makanan-makanan
kefakiran kita, kebutuhan hati kita, memaksa dan
memperkosa hati kita untuk dijadikan tunggangan liar
nafsu kita. Tangan-tangan kita telah memukul dan
menampar wajah hati yang menghadap Allah, menuding
muka-muka jiwa yang menghadap Allah, merobek-robek
pakaian pengantin yang bermahkotakan riasan indah para
Sufi.

Maka basuhlah tanganmu dengan air kecintaan, dengan
beningnya cermin ma'rifat, dari mata air dari bengawan
syurga.
Basuhlah tangan kananmu, sembari munajat:
Oh, Allah..berikanlah Kitabku melalui tangan kananku,
dan hitanglah amalku dengan hitungan yang
seringan-ringannya.

Basuhlah tangan kririmu dengan munajat:
Oh, Allah, aku berlindung kepadaMu, dari pemberian
kitabku dari tangan kiriku atau dari belakang
punggungku…

Lalu, mari kita usap kepala kita:
Karena kepala kita telah bertabur debu-debu yang
mengotori hati kita, memaksa hati kita mengikuti
selera pikiran kira, sampai hati kita bukan lagi
menghadap kepadaNya, tetapi menghadap seperti cara
menghadap wajah di kepala kita, yaitu menghadap dunia
yang hina dan rendah ini.

Pada kepala kita yang sering menunduk pada dunia, pada
wujud semesta, tunduk dalam pemberhalaan dan
perbudakan makhluk, tanpa hati kita menunduk kepada
Allah Ta'ala, kepada Asma-asmaNya yang tersembunyi
dibalik semesta lahir dan batin kita, lalu kepala kita
memalingkan wajah hati kita untuk berpindah ke lain
wajah hati yang hakiki.

Mari kita usap dengan air Cahaya, agar wajah hati kita
bersinar kembali, tidak menghadap ke arah
remang-remang yang menuju gelap yang berlapis gulita,
tidak lagi menengok pada rimba duniawi yang dipenuhi
kebuasan dan liar kebinatangannya.
Kepala-kepala kita sering menunduk pada
berhala-berhala yang mengitari hati kita. Padahal hati
kita adalah Baitullah, Rumah Ilahi. Betapa kita sangat
tidak beradab dan bahkan membangun kemusyrikan,
mengatasnamakan Rumah Tuhan, tetapi demi kepentingan
berhala-berhala yang kita bangun dari tonggak-tonggak
nafsu kita, lalu kita sembah dengan ritual-ritual
syetan, imajinasi-imajinasi, kebanggaan-kebanggan,
lalu begitu sombongnya kepala kita terangkat dan
mendongak.

Mari kita usap kepala kita dengan usapan Kasih Sayang
Ilahi. Karena kepala kita telah terpanggang panasnya
neraka duniawi, terpanaskan oleh ambisi amarah dan
emosi nafsu syahwati, terjemur di hamparan mahsyar
duniawi.
Sembari kita mengusap, masti munajat:
Oh Allah, payungi kepalaku dengan Payung RahmatMu,
turunkan padaku berkah-berkahMu, dan lindungi diriku
dengan perlindungan payung ArasyMu, dihari ketika
tidak ada lagi paying kecuali payungMu. Oh,
Tuhan….jauhkan rambutku dan kulitku dari neraka…Oh…

Usap kedua telingamu. Telinga yang sering mendengarkan
paraunya dunia, yang anda kira sebagai kemerduan musik
para bidadari syurga. Telinga yang berbisik kebusukan
dan kedustaan, telinga yang menikmati gunjingan demi
gunjingan. Telinga yang fantastik dengan mendengarkan
indahnya musik duniawi, lalu menutup telinga ketika
suara-suara kebenaran bersautan. Amboi, kenapa
telingamu seperti telinga orang-orang munafik?
Apakah anda lebih senang menjadi orang-orang yang tuli
telinga hatinya?

Munajatlah:
Oh Tuhan, jadikan diriku tergolong orang-orang yang
mendengarkan ucapan yang benar dan mengikuti yang
paling baik. Tuhan, perdengarkan telingaku
panggilan-panggilan syurga di dalam syurga bersama
hamba-hambaMu yang baik.

Lalu usaplah tengkukmu, sembari berdoa:
Ya Allah, bebaskan diriku dari belenggu neraka, dan
aku berlindung kepadaMu dari belenggu demi belenggu
yang merantai diriku.

Lalu basuh kaki-kakimu sampai kedua mata kaki:

Kaki-kaki yang melangkahkan pijakannya kea lam dunia
semesta, yang berlari mengejar syahwat dan kehinaan,
yang bergegas dalam pijakan kenikmatan dan kelezatan
pesonanya.
Kaki-kaki yang sering terpeleset ke jurang kemunafikan
dan kezaliman, terluka oleh syahwat dan emosinya, oleh
dendam, iri dan dengkinya, haruslah segera dibasuh
dengan air akhlaq, air yang berumber dari adab, dan
bermuara ke samudera Ilahiyah.

Basuhlah kedua kakimu sampai kedua matakakimu. Agar
langkah-langkahmu menjadi semangat baru untuk bangkit
menuju Allah, menapak tilas Jalan Allah, secepat kilat
melesat menuju Allah. Basuhlah dengan air salsabila,
yang mengaliri wajah semesta menjadi jalan lurus
lempang menuju Tuhan.
Selebihnya, Wudlu’ adalah Taubat, penyucian jiwa,
pembersihan batin, di lembah Istighfar. Jangan lupakan
Istighfar setiap basuhan anggota wudlu’mu.
Wallahu A'lam.

Sayangnya Saya Orang Indonesia

Posted in artikel dan opini, tulisanku on Juli 8, 2006 by Aryanto Abidin

diambil dari Budi Rahardjo @ 7:45 pm

Kalau dalam beberapa tulisan terdahulu saya mengatakan bahwa untung saya orang Indonesia, kali ini saya ingin mengatakan sayangnya (ruginya) saya orang Indonesia. Hal ini terkait dengan berita yang saya kutip dari koran Bisnis Indonesia ini.

Bisnis Indonesia, 7 Juli 2006, Jakarta
PII minta gaji insinyur lokal naik
Persatuan Insinyur Indonesia (PII) minta pemerintah meningkatkan billing rate insinyur lokal yang selama ini lebih rendah 10 kali lipat dibandingkan tenaga profesional asing.
Wakil ketua PII Airlangga Hartarto mengatakan permintaan itu sudah disampaikan kepada Bappenas karena lembaga itulah yang mengeluarkan diskriminasi tarif standar gaji insinyur lokal dan asing. Baca lebih lanjut

Sepak Bola, Kadang Mengundang Air mata (Catatan Pertandingan Jerman Vs Italia)

Posted in Uncategorized on Juli 5, 2006 by Aryanto Abidin


Oleh: Aryanto Abidin
Penulis adalah Peminat dan Penikmat Bola serta Pendukung Jerman

Piala dunia 2006 di Jerman hampir usai. 32 Tim dari negara dan benua berbeda turut meramaikan gelar sepak bola akbar di jagad ini. Di penghujung ritual empat tahunan ini hanya menyisahkan empat tim yakni Jerman Italia, Portugal dan Prancis. Empat tim tersebut lolos ke babak semifinal. Semua tim berasal dari benua Eropa. Piala dunia kali ini tak pantas kita sebut sebagai piala dunia, mungkin lebih pantas disebut sebagai piala Eropa. 28 tim telah tersingkir dari obsesi untuk menggenggam tropy bergengsi tersebut. Mulai dari tim yang tidak masuk dalam daftar favorit juara sampai pada tim yang menjadi favorit juara. Bagi tim yang tak diunggulkan, lolos ke piala dunia merupakan suatu kesukuran. Beda halnya jika tim sebesar Brasil, Argentina, Cekoslovakia dan Spanyol yang harus pulang lebih awal. Tim-tim tersebut kali ini harus mengubur ambisinya untuk menjadi juara dunia. Bahkan tim samba Brasil harus menerima cacian dari sekitar 300 pendukungnya sendiri di jerman ketika hendak meninggalkan Jerman. Brasil dicaci maki lantaran meninggalkan permainan cantik khas negara mereka. Brasil ditaklukan oleh pasukan yang di pimpin oleh Zinedin Zidane dengan skor 1-0 pada menit-menit akhir. Sungguh menyakitkan!. Brasil gagal menjadi juara, sekaligus gagal meperlihatkan ke publik permainan cantik khas Brasil. Lain halnya dengan Argentina. Argentina harus takluk di tangan Bllack dan pasukannya. Argentina kalah dengan terhormat melalui drama adu pinalti dengan skor 4-2 untuk kemenangan Jerman.

Jerman kalah

Setelah lolos ke partai semi final, Jerman harus berhadapan dengan tim tangguh Italia. Keduanya harus bermain ngotot jika ingin maju ke babak final. Dan benar saja, keduanya menampilkan permainan menyerang yang memukau. Jerman kebobolan satu gol lewat kaki striker Luca Toni. Jerman tak menyerah. Kebobolan satu gol justru membuat tim Jerman bermain menyerang. Sayangnya, karena keasikan menyerang Jerman kewalahan menangkal serangan balik Italia. Jerman kebobolan lagi lewat kaki Del Piero. Kekalahan yang menyakitkan!. Betapa tidak di menit-menit terakhir, Luca Toni berhasil mencuri kemenangan dari Jerman, 1-0 untuk tim Italia. Dan yang lebih menyakitkan lagi adalah Del Piero berhasil mencuri satu gol di tiga menit terakhir hingga kedudukan menjadi 2-0. Jerman takluk oleh pasukan yang dipimpin oleh Francesco Toti. Italia melaju ke final, Jerman kalah. Pendukung Jerman berurai air mata. Selanjutnya, Jerman akan berlaga untuk memperebutkan posisi ke tiga. Sesaat setelah Del Piero menambah gol untuk italia, butiran-butiran hangat memenuhi kelopak mata saya. Saya bersedih atas kekalahan Jerman. Sungguh, ini adalah kekalahan yang menyakitkan. Kendati demikian Jerman telah membuktikan dirinya sebagai tim yang mampu bermain menyerang, bukan bermain bertahan. Di bawah asuhan Klinsmann, Jerman berhasil menunjukan kepada publik permainan cepat dan cantik dengan sentuhan indah. Yang lebih membaggakan lagi Jerman tetap memperlihatkan sportivitasnya. Sangat beda dengan Argentina. Negara sepak bola itu, tidak bisa menerima kekalahan. Kehadiran Kanselir Jerman, Angela Merkel di setiap pertandingan Jerman, memberi semangat baru buat Jerman. Angela Merkel yang hadir di kerumunan pendukung Jerman turut menghibur suporter Jerman. Jerman harus mengakui ketangguhan Italia. Bravo Italia!.baca juga Linkdi sini